Yuan mengalami pelemahan terbesar dalam lebih dari dua dekade di hari Selasa (11/8), menyentuh level terendah tiga tahun setelah bank sentral China membuat kejutan dengan memutuskan untuk mengambil langkah devaluasi sebesar hampir dua persen. Beberapa pengamat menganggap ini sebagai awal ancaman "perang mata uang".
People's Bank of China (PBOC) mengatakan bahwa langkah tersebut sebagai salah satu bentuk reformasi pasar bebas, namun setelah serangkaian data ekonomi China yang mengecewakan banyak pengamat ekonomi beranggapan bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk meningkatkan daya saing negara dengan ekonomi terbesar ke dua di dunia itu.
Ada pula yang mengacu pada keinginan China untuk diikutsertakan dalam Special Drawing Rights (SDR) oleh International Monetary Fund. Argumen yang dikemukakan untuk pemikiran ini adalah bahwa depresiasi yang terjadi pada yuan tidaklah cukup signifikan untuk menolong sektor ekspor.
Sementara itu euro berhasil mencapai level tertingginya terhadap USD dalam satu setengah pekan terakhir, di kisaran 1.10873.
Para pengamat ekonomi berpendapat bahwa penguatan USD terhadap yuan, dolar Australia dan dolar New Zealand akibat devaluasi tersebut bisa menjadi salah satu alasan bagi Federal Reserve (Fed) untuk tetap bertahan pada rencana kenaikan suku bunga di bulan September mendatang. Begitupun, ketidakpastian mengenai hal tersebut membuat euro memperoleh momentum penguatan terhadap USD.
